kritik salafi, adi hidayat, firanda, abul jauzaa, rodja, takdir,manhaj, manhaj salaf, tahzir, Abdullah taslim, al-albani,
Silsilah Pembelaan Terhadap Ust Adi Hidayat: Bantahan Untuk Ust Firanda Andirja Atas Kritikannya Terhadap Ust Adi Hidayat Tentang Masalah Wudhu (Bag II)
Al Ustadz Firanda Andirja, MA, Lc berkata dalam webnya dalam mengomentari pernyataan ust Adi berikut:
Pertama : Beliau berpendapat bahwa lafal الوُضُوْءُ wudhu, itu dari kata الضَّوْءُ dhou' الضِّيَاءُ yang berarti cahaya atau aura kebaikan, lalu ditambah huruf وُ wawu di depannya, menjadi wudhu' sehingga artinya menjadi sinar yang sangat terang atau aura kebaikan yg semakin tampak. Lihat menit 1:27:30 di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=k7OVXaoIWDc Pengambilan asal kata wudhu dari dhou’ belum pernah saya temukan dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab -yang telah saya cek-, demikian juga dalam kitab-kitab fikih. Semua literatur bahasa Arab yang saya baca menyebutkan bahwa lafal الوُضُوْءُ berasal dari الوَضَاءَةُ yang berati الحُسْنُ yang artinya keindahan dan النَّظَافَةُyang artinya kebersihan. Silahkan cek di literatur berikut : Al-‘Ain li al-Kholil bin Ahmad al-Farohidi (7/77), Tahdziibul Lughoh li al-Azhari (12/70), Mu’jam Maqooyiis al-Lughoh li Ibni Faaris (6/119), Lisaanul ‘Arob li Ibnil Manzhuur (1/195), Taajul ‘Aruus li Az-Zabiidi (1/489). Demikian juga dalam kitab-kitab ghoribil hadits seperti : Ghoribul Hadiits li Ibni Qutaibah (1/153), an-Nihaayah Fi Ghoriibil Hadiits li Ibnil Atsiir (5/195) Karena pada asalnya lafal wudhu diambil dari asal kata وَضَأَ yang merupakan fi’il ats-tsulatsi al-mu’tal al-mujarrod (yaitu kata kerja yang terdiri dari 3 huruf asli), jadi huruf و wawu yang ada di depan bukanlah huruf tambahan sebagaimana yang dipersangkakan oleh ustadz AH. Menurut AH lafal الوُضُوْءُ wudhu, itu dari kata الضَّوْءُ dhou' الضِّيَاءُ yang berarti cahaya. Padahal berasal dari ضَاءَ dan ini kata kerja ats-Tsulaatsi al-Mu’tal yang lain yang tidak ada hubungannya dengan lafal wudhu. Seandainya lafal الوُضُوْءُ berasal dari الضَّوْءُ lalu ditambah huruf و didepannya maka jadilah kata wudhu itu dari fi’il rubaa’i (yang terdiri dari 4 huruf asli), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian. Demikian juga pernyataan beliau bahwa lafal الضَّوْءُ artinya “aura kebaikan” ini juga baru saya dapatkan dari beliau, seandainya beliau bisa menyebutkan sumber darimana menafsirkan dengan tafsiran demikian??
Kembali ke masalah awal, tentang wudhu, adalah benar dan tidak salah bila ust Firanda membongkar asal kata wudhu dari buku-buku kamus dan nahwu yang dirujuknya, namun tetap harus diperhatikan ust Adi sedang tidak membahas tashrif kata tersebut, namun sedang membahas penafsirannya, hal semacam ini sebenarnya sah-sah saja dan dilakukan para mufassirun, misalnya Imam Tastari (w. 283 H) dalam tafsirnya menjelaskan arti Alif Lam Mim dalam surat Al Baqarah, beliau berkata:
فأما هذه الحروف إذا انفردت، فالألف تأليف الله عزَّ وجلَّ ألف الأشياء كما شاء، واللام لطفه القديم، والميم مجده العظيم «
Huruf-huruf ini jika terpisah satu sama lain, maka Alif artinya, pengumpulan/penyatuan Allah yakni Allah mengumpulkan/menyatukan segala sesuatu sekehendakNya, dan Lam adalah kelembutannya yang abadi, dan Mim adalah kemuliannya yang luhur… (Tafsir Tastari, surat Al Baqarah: 1/I/25)
Tidak cuma itu, Ath Thabari dalam tafsirnya mengutip banyak tokoh yang manafsirkan Alim Lam Mim tersebut dan menyebutnya dengan nama-nama Allah, ini menjadi bukti bahwa bahasa Arab boleh ditafsirkan tanpa harus menggunakan nahwu shorof.
Bahkan terdapat ayat yang jelas-jelas menyebut Al Quran malah artinya menjadi sholat. Tentu ini jauh sekali hubungan antara kata dan maknanya dan sangat melanggar kaidah nahwu/sharaf. Sebagaimana kritikan ustaz Firanda terhadap ust Adi pada kata wudhu yang diartikan menjadi Ad Dhau (cahaya)…
Bahkan terdapat ayat yang jelas-jelas menyebut Al Quran malah artinya menjadi sholat. Tentu ini jauh sekali hubungan antara kata dan maknanya dan sangat melanggar kaidah nahwu/sharaf. Sebagaimana kritikan ustaz Firanda terhadap ust Adi pada kata wudhu yang diartikan menjadi Ad Dhau (cahaya)…
Sesungguhnya terjemahan kata Al-Quran menjadi shalat ini tidak hanya dalam terjamahan Al Quran bahasa Indonesia, tapi dalam banyak kitab Tafsir Berbahasa Arab disebutkan bahwa Al Quran adalah Shalat.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78)
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
Jadi jelas, bahwa siapapun bisa menafsirkan kata dalam bahasa Arab, terlepas itu salah atau benar, karena hal itu juga dilakukan para mufassirun. Mereka menyebut Alif Lam Mim adalah nama-nama Allah, padahal dalam Al Quran dan Hadis tidak disebutkan demikian.
Begitupun dalam kasus wudhu ini, sebelum ust Adi Hidayat yang dikatakan oleh ust Firanda,
Menurut AH lafal الوُضُوْءُ wudhu, itu dari kata الضَّوْءُ dhou' الضِّيَاءُ yang berarti cahaya. Padahal berasal dari ضَاءَ dan ini kata kerja ats-Tsulaatsi al-Mu’tal yang lain yang tidak ada hubungannya dengan lafal wudhu. Seandainya lafal الوُضُوْءُ berasal dari الضَّوْءُ lalu ditambah huruf و didepannya maka jadilah kata wudhu itu dari fi’il rubaa’i (yang terdiri dari 4 huruf asli), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian.
Sudah ada seorang ulama besar dari Arab Saudi; Syaikh Abdullah Ibnu Jibrin yang juga menjadi rujukan sebagian salafi yang berpendapat demikian sebagaimana ust Adi Hidayat ini, beliau berkata,
كلمة الوضوء لفظة شرعية، ولم تكن معروفة عند العرب قبل الإسلام، فهي من الكلمات التي جاءت في الشرع، والوضوء: هو غسل الأعضاء التي أمرنا الله بغسلها، وسمي وضوءاً لآثاره، فإنه ينور هذه الأعضاء تنويراً معنوياً، وينورها في الآخرة تنويراً حسياً، ففي الآخرة يعرف أهل الوضوء بأنهم غر محجلون من آثار الوضوء. والغرة: بياض الوجه. والتحجيل: بياض اليدين وبياض الرجلين من آثار الوضوء. فهذا ضوء حسي، وأما في الدنيا فإنه ضوء ونور معنوي. وسمي وضوءاً من الضوء الذي هو النور، فالوضوء منير للأعضاء، وهو من المسميات الشرعية، وهو: غسل أعضاء مخصوصة بنية رفع الحدث ولاستباحة الصلاة، وقد جعله النبي صلى الله عليه وسلم شرطاً للصلاة بقوله: (لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ).
Kalimat wudhu ini adalah kata yang diciptakan oleh ajaran Islam, orang Arab sebelum Islam tidak pernah mengenal kata ini, ini termasuk salah satu kata yang memang sudah ada dalam ajaran Islam.
Berwudhu artinya mencuci anggota bada yang diperintahkan Allah untuk dicuci, dinamakan wudhu dikarenakan ada bekas-bekasnya, sebab secara makna bahasa ia memang menyinari anggota-anggota badan ini dengan terang, tapi di akhirat anggota-anggota badan ini akan disinari dengan jauh lebih kongkrit lagi.
Di akhirat orang-orang yang berwudhu ini akan dikenal karena mereka bercahaya oleh anggota-anggota tubuh yang terkena wudhu.
Bercahaya (ghurr) maksudnya di sini adalah: wajahnya menyala putih
Bercahaya (tahjil) maksudnya di sini adalah: dua tangan, kaki, menyala warna putih karena bekas wudhu.
Maka inilah cahaya yang kongkrit (benar-benar jelas), adapun di dunia maka cahayanya hanyalah sebatas makna saja. Dinamai Wudhu adalah karena ia berasal dari Ad Dhau’ (Cahaya) yang menyinari (Nur), maka wudhu itu menyinari anggota badan, dan termasuk salah satu dari terminologi syariatnya adalah: mencuci anggota badan tertentu dengan niat menghilangkan hadis dan sebagai syarat pemboleh sholat dan Nabi sudah menetapkannya untuk shalat, sabdanya: “Allah tidak menerima shalat kalian sampai ia berwudhu” sumber islamweb.net
Jadi pernyataan ust Firanda tadi jelas menunjukkan kejahilannya sebab, ia berani berkata: dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, padahal Syaikh Abdullah Jibrin menyatakannya.
Mungkin saja ini terjadi karena ust Firanda lebih sibuk mengkritik orang lain dibanding memperdalam lagi ilmu agamanya sehingga banyak hal yang terlewati dalam kajian-kajiannya.
Adapun pernyataannya yang mengkritik الضَّوْءُ bermakna sebagai “aura kebaikan”, ini tentu saja datang dari kejahilan ust Firanda saja, apa salahnya orang menciptakan makna, apa ust Firanda pikir semua orang yang mengucapkan setiap kata (berbahasa), selalu merujuk ke kamus apa?
Maka dari itu yang penting bagi kita sebelum mengkritik orang lain untuk mengkritik diri kita terlebih dahulu.
Dalam teori ilmu bahasa, setiap kata itu punya dua makna, makna lahir (tersurat/fisik) dan makna batin (tersirat/tak terlihat), makna lahir maka ini semua orang sepakat, kalau tidak sepakat maka tidak mungkin ada komunikasi, karena setiap orang berbahasa sesuka hatinya tanpa mau mengerti dan dimengerti orang lain.
Adapun makna batin, maka makna ini ada dalam diri setiap orang, kadang ia menuturkannya kadang juga tidak, setiap orang bebas tentu menciptakan makna bagi dirinya sendiri. Ini sudah tabiaat manusia, fitrah bagi batin mereka, bahkan inilah mesin yang membuat bahasa manusia terus berkembang dari masa ke masa. Bayangkan saja, kalau setiap kata maknanya itu-itu saja maka bahasa tentu tidak bisa berkembang.
Adapun makna batin, maka makna ini ada dalam diri setiap orang, kadang ia menuturkannya kadang juga tidak, setiap orang bebas tentu menciptakan makna bagi dirinya sendiri. Ini sudah tabiaat manusia, fitrah bagi batin mereka, bahkan inilah mesin yang membuat bahasa manusia terus berkembang dari masa ke masa. Bayangkan saja, kalau setiap kata maknanya itu-itu saja maka bahasa tentu tidak bisa berkembang.
Sekedar contohnya, saat Rasulullah memasuki Mekah pada peristiwa Fathu Makkah, tiba-tiba masyarakat bersenandung:
Apakah saat Nabi memasuki Makah ada bulan purnama? Tentu saja tidak, lalu siapa yang dimaksud bulan purnama di sana? Tentu saja adalah Rasulullah, lantas apakah Rasulullah itu bulan purnama? Tentu saja tidak.
Mari kita bertanya ala model ust Firanda: darimana sumber masyakat Mekah menafsirkan Rasulullah dengan tafsiran bulan purnama?? Sebagaimana pertanyaannya kepada ust Adi : seandainya beliau bisa menyebutkan sumber darimana menafsirkan (Adh Dhau`) dengan tafsiran (aura kebaikan) demikian?? Sebab Allah dan Rasullah sendiri tidak pernah menggambarkan Nabi dengan bulan purnama.
طَلَعَ البَدْرُ عَلَيْنَا ... مِنْ ثَنيّاتِ الوداعِ
Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita
Dari lembah Wadā‘.Apakah saat Nabi memasuki Makah ada bulan purnama? Tentu saja tidak, lalu siapa yang dimaksud bulan purnama di sana? Tentu saja adalah Rasulullah, lantas apakah Rasulullah itu bulan purnama? Tentu saja tidak.
Mari kita bertanya ala model ust Firanda: darimana sumber masyakat Mekah menafsirkan Rasulullah dengan tafsiran bulan purnama?? Sebagaimana pertanyaannya kepada ust Adi : seandainya beliau bisa menyebutkan sumber darimana menafsirkan (Adh Dhau`) dengan tafsiran (aura kebaikan) demikian?? Sebab Allah dan Rasullah sendiri tidak pernah menggambarkan Nabi dengan bulan purnama.
Pertanyaan model ust Firanda ini tentu saja pertanyaan bodoh, bagaimana bisa kita menanyakan sesuatu yang sudah kodrati semacam itu?
Lagipula, sebenarnya pada awalnya ust Adi dalam video tersebut sudah menjelaskan makna Adh Dhau’ adalah cahaya secara leksikal (kamus) kemudian beliau memberi pengertian batin (subjektivitas beliau) dari kata tersebut, yaitu aura kebaikan.
Tapi ya begitu, ust Firanda ini kerjanya hanya cari-cari kesalahan saja untuk menjatuhkan reputasi dai yang sekarang sedang naik daun.
Kita semua sama mengucapkan kata “cinta”, apa makna cinta ini sama bagi semua orang? Hanya orang bodoh yang menjawab iya.
Demikian tulisan ini, semoga bisa bermanfaat.
Lagipula, sebenarnya pada awalnya ust Adi dalam video tersebut sudah menjelaskan makna Adh Dhau’ adalah cahaya secara leksikal (kamus) kemudian beliau memberi pengertian batin (subjektivitas beliau) dari kata tersebut, yaitu aura kebaikan.
Tapi ya begitu, ust Firanda ini kerjanya hanya cari-cari kesalahan saja untuk menjatuhkan reputasi dai yang sekarang sedang naik daun.
Kita semua sama mengucapkan kata “cinta”, apa makna cinta ini sama bagi semua orang? Hanya orang bodoh yang menjawab iya.
Demikian tulisan ini, semoga bisa bermanfaat.
Kenapa blog ini berbelit belit? Mau baca harus kilk sana sini...malah bermunculan iklan dimana mana
ReplyDelete