kritik salafi, nabi musa, nabi khidir, khidhir, ilmu hakikat, ilmu syariat, ilmu batin, israiliyat,
doc internet |
Faidah Emas Dari Kisah Nabi Musa yang Menuntut Ilmu kepada Khidir seorang hamba Allah.
Kritik Salafi - Kisah Nabi Musa alaihis salam yang belajar kepada Khidhir (Khadhir) merupakan kisah yang sangat menarik untuk diikuti, diwartakan dalam Al-Quran juga Al-Hadits, bahkan sampai dibuat versi israiliyatnya (fiktif) oleh para "pendongeng" agar ceritanya semakin bertambah menarik. Kisah ini dianggap sebagian orang terutama kaum batiniah sebagai jembatan yang menghubungkan dan mempertemukan antara dunia lahir dengan dunia batin. Antara ilmu lahir yang dikuasai oleh Nabi Musa dan ilmu batin yang dikuasai Khidhir.
Singkat cerita, dalam hadits diceritakan: Nabi Musa ditanya oleh seorang penanya di tengah-tengah forum kajiannya, siapakah manusia yang paling berilmu? Karena saat itu Nabi Musa tidak menemukan/mengetahui adanya orang lain selain dirinya yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata, maka dijawablah pertanyaan tersebut dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai jawabannya, seketika itu juga datanglah teguran dari Allah atas kekeliruan jawabannya. Dan dari sinilah kisah Nabi Musa dan Khidhir dimulai.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عَمْرٌو، حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ تَمَارَى هُوَ وَالحُرُّ بْنُ قَيْسِ بْنِ حِصْنٍ الفَزَارِيُّ فِي صَاحِبِ مُوسَى أَهُوَ خَضِرٌ؟ فَمَرَّ بِهِمَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ الأَنْصَارِيُّ، فَدَعَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: إِنِّي تَمَارَيْتُ أَنَا وَصَاحِبِي هَذَا فِي صَاحِبِ مُوسَى الَّذِي سَأَلَ السَّبِيلَ إِلَى لُقِيِّهِ، هَلْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ شَأْنَهُ، قَالَ: نَعَمْ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بَيْنَا مُوسَى فِي مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْكَ؟ فَقَالَ مُوسَى: لاَ، فَأُوحِيَ إِلَى مُوسَى، بَلَى عَبْدُنَا خَضِرٌ، فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَى لُقِيِّهِ، فَجَعَلَ اللَّهُ لَهُ الحُوتَ آيَةً، وَقِيلَ لَهُ إِذَا فَقَدْتَ الحُوتَ فَارْجِعْ فَإِنَّكَ سَتَلْقَاهُ، فَكَانَ مُوسَى يَتْبَعُ أَثَرَ الحُوتِ فِي البَحْرِ، فَقَالَ فَتَى مُوسَى لِمُوسَى: (أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهِ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ)، قَالَ مُوسَى: (ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِي فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا)، فَوَجَدَا خَضِرًا، وَكَانَ مِنْ شَأْنِهِمَا مَا قَصَّ اللَّهُ " حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ غُرَيْرٍ الزُّهْرِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَهُ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَهُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ تَمَارَى هُوَ وَالْحُرُّ بْنُ قَيْسِ بْنِ حِصْنٍ الْفَزَارِيُّ فِي صَاحِبِ مُوسَى قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هُوَ خَضِرٌ فَمَرَّ بِهِمَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَدَعَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّي تَمَارَيْتُ أَنَا وَصَاحِبِي هَذَا فِي صَاحِبِ مُوسَى الَّذِي سَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَى لُقِيِّهِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ شَأْنَهُ قَالَ نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بَيْنَمَا مُوسَى فِي مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْكَ قَالَ مُوسَى لَا فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى مُوسَى بَلَى عَبْدُنَا خَضِرٌ فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَيْهِ فَجَعَلَ اللَّهُ لَهُ الْحُوتَ آيَةً وَقِيلَ لَهُ إِذَا فَقَدْتَ الْحُوتَ فَارْجِعْ فَإِنَّكَ سَتَلْقَاهُ وَكَانَ يَتَّبِعُ أَثَرَ الْحُوتِ فِي الْبَحْرِ فَقَالَ لِمُوسَى فَتَاهُ { أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهِ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ } { قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِي فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا } فَوَجَدَا خَضِرًا فَكَانَ مِنْ شَأْنِهِمَا الَّذِي قَصَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Gharair Az Zuhri berkata, Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan bapakku kepadaku dari Shalih dari Ibnu Syihab, dia menceritakan bahwa 'Ubaidullah bin Abdullah mengabarkan kepadanya dari Ibnu 'Abbas, bahwasanya dia dan Al Hurru bin Qais bin Hishin Al Fazari berdebat tentang sahabat Musa 'Alaihis salam, Ibnu 'Abbas berkata; dia adalah Khidlir 'Alaihis salam. Tiba-tiba lewat Ubay bin Ka'b di depan keduanya, maka Ibnu 'Abbas memanggilnya dan berkata: Aku dan temanku ini berdebat tentang sahabat Musa 'Alaihis salam, yang ditanya tentang jalan yang akhirnya mempertemukannya, apakah kamu pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan masalah ini? Ubay bin Ka'ab menjawab: Ya, benar, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Ketika Musa di tengah pembesar Bani Israil, datang seseorang yang bertanya: apakah kamu mengetahui ada orang yang lebih pandai darimu? Berkata Musa 'Alaihis salam: Tidak. Maka Allah Ta'ala mewahyukan kepada Musa 'Alaihis salam: Ada, yaitu hamba Kami bernama Hidlir. Maka Musa 'Alaihis Salam meminta jalan untuk bertemu dengannya. Allah menjadikan ikan bagi Musa sebagai tanda dan dikatakan kepadanya; jika kamu kehilangan ikan tersebut kembalilah, nanti kamu akan berjumpa dengannya. Maka Musa 'Alaihis Salam mengikuti jejak ikan di lautan. Berkatalah murid Musa 'Alaihis salam: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi? Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidaklah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan. Maka Musa 'Alaihis Salam berkata:.Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Maka akhirnya keduanya bertemu dengan Hidlir 'Alaihis salam. Begitulah kisah keduanya sebagaimana Allah ceritakan dalam Kitab-Nya. (HR. Bukhari)
Sebenarnya jawaban Nabi Musa di atas adalah benar dan tidaklah salah. Terdapat sebuah ayat yang menguatkannya. Allah berfirman,
"Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". (Al-A’raf: 144)قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Bicara tentang dunia batin (rohani) maka akan menjadi sebuah anomali/ta’arudh bila Nabi Musa disuruh belajar kepada Khidir hanya untuk mempelajari sesuatu yang sudah menjadi jalan baginya dimana Musa menerima wahyu langsung dari Allah, begitupula dengan Khidhir. Bahkan Nabi Musa sendiri memiliki keunggulan, yaitu dapat berbicara langsung kepada Allah. Ada banyak kekeliruan manusia dalam menyimpulkan kisah ini, seakan-akan Nabi Musa adalah orang bodoh yang disuruh belajar kepada orang pintar saja (Khidhir), padahal keduanya sama-sama memiliki satu rujukan yang sama, yaitu Allah. Atau menganggap bahwa ilmu hakikat yang menjadi representatif daripada Khidhir (sebagaimana yang diyakini kaum batiniah) jauh lebih unggul daripada ilmu syariat yang menjadi representasi daripada Nabi Musa. Kisah ini bahkan sering kali dijadikan “rujukan” oleh kaum sufi untuk memamerkan kedahsyatan ilmu hakikat mereka yang (katanya) sejalan dengan ilmu (Nabi) Khidir karena sama-sama langsung dari Allah, sementara ilmu syariat yang (katanya) didominasi oleh kaum awwam memiliki level yang masih jauh di bawahnya, karena memerlukan perantara ajaran Nabi untuk sampai kepada Allah, padahal yang mereka banggakan (jajakan) tersebut tidak jauh-jauh dari yang namanya tipu daya setan, yaitu sebuah tipuan yang memiliki daya hancur yang sangat tinggi yang dapat menghancurkan keimanan seorang hamba sehingga disisakanlah darinya kepingan-kepingan syubahat.
Ada banyak pihak yang menganggap Nabi Musa tidak mengetahui ilmu batin sehingga ia disuruh belajar kepada Khidhir, anggapan ini sesungguhnya keliru dan amat batil. Kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah menunjukkan bahwa level Nabi Musa terhadap ilmu batin terhadap Zat yang Maha Batin ini sangatlah tinggi. Ketika Nabi Musa meminta agar Ia ingin melihat Allah maka permintaan ini pun dikabulkan oleh Allah, hanya saja Nabi Musa saja yang tidak memiliki kemampuan untuk menangkap Zat Allah.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".(Al-A’raf: 143)وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِ
Bahkan seandainya bila kita mau jujur terhadap kemampuan Khidhir dalam melihat realitas batin seperti pada kasus ia melubangi papan perahu, membunuh anak kecil, dsb maka hal itu pun akan kita temukan pada Musa ketika Ia diberitahu oleh Allah bahwa kaumnya yang terpisah jarak dan waktu darinya telah disesatkan oleh Samiri.
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa: "Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau rida (kepadaku)". Allah berfirman: "Maka sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?" (Thaha: 83-86)
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَا مُوسَى (83) قَالَ هُمْ أُولَاءِ عَلَى أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى (84) قَالَ فَإِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِنْ بَعْدِكَ وَأَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ (85) فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ يَا قَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدْتُمْ أَنْ يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُمْ مَوْعِدِي
Bahkan kasus dimana paha sapi yang dipakai untuk memukul mayat agar ia hidup kembali untuk memberitahukan siapa pembunuhnya (yang menjadi asabul wurud surat Al-Baqarah) menjadi bukti bahwa Nabi Musa tidak nol besar dalam urusan yang menyangkut hal-hal ghaib. Lalu kenapa jawaban Nabi Musa menjadi masalah besar? Di atas sudah kami terangkan sedikit bahwa ketergesaan Nabi Musa dalam menjawab dan menafsirkan sebuah permasalahan secara sendiri tanpa melibatkan Allah inilah yang menjadi pokok masalah.
Sikap inilah yang diminta Allah kepada Musa untuk diperbaiki melalui pembelajarannya kepada Khidhir, bahkan Khidhir sempat mengatakan kepada Musa, bahwa ilmu Allah itu tidak pernah ada habisnya meskipun diambil, meskipun pada akhir kisah Nabi Musa menyerah dari pembelajaran tersebut sehingga Khidhir menghentikan pembelajarannya tepat pada kasus dimana ia membangun rumah yang rusak. Padahal seandainya nabi Musa belum mau menyerah akan ada banyak lagi pelajaran demi pelajaran yang bisa dipetik. wallahu a'lam. Kritik Salafi
COMMENTS