kritik salafi, adi hidayat, firanda, abul jauzaa, rodja, takdir,manhaj, manhaj salaf, tahzir, Abdullah taslim, al-albani,
Silsilah Pembelaan Terhadap Ust Adi Hidayat: Bantahan Untuk Abul Jauzaa Atas Kritikannya Terhadap Ust Adi Hidayat Tentang Masalah Takdir (Bagian Kedua)
Abu-Jauzaa’ berkata: Ini adalah pemahaman keliru dalam masalah keimanan terhadap taqdir. Secara istilah, makna al-qadar adalah: تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته “Ketetapan (taqdiir) Allah bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Menyatakan pemahaman Adi Hidayat keliru ini tentu sangat lucu sekali hanya dengan bersandar pada kitab Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, perlu diperhatikan dengan baik dan benar bahwa kata “takdir” ini adalah istilah yang penuh kontroversi dari zaman dahulu, siapapun yang berani membahas hal ini pasti terjebak dalam kutub pemahaman, entah dia akan menjadi qadariyah nantinya, jabbariyah nantinya, atau memilih pertengahan (ahlussunnah wal jamaah),
Bagaimana bisa ia mengeksekusi semua pemahaman ini secara istilah hanya bersandar pada satu definisi saja yang ia anggap sudah paling benar, lagi-lagi orang ini terlihat dangkal sekali pemahamannya, nyaris tidak punya kemampuan akademis, bisanya cuma copas… copas Al Quran, hadis dan kalam ulama. Apa mungkin karena kebanyakan copas, ia jadi merasa paling tahu tentang takdir dan hadis. Mungkin saja kali ya?
Pembedaan dua hal tersebut (qadar dan takdir) tidaklah benar. Tidak mungkin ketetapan Allah datang menyusul setelah adanya ketetapan dari makhluk dalam ikhtiyarnya. Bahkan Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Pernyataan si Abul Jauzaa ini bagi yang paham takdir, jelas sudah masuk ke dalam lingkaran akidah Jabbariyah, sebab ia menganggap mahluk hanya berikhtiyar, namun ikhtiyarnya tidak berguna sedikitpun.
Tadi Penulis sudah sebutkan, siapapun yang berani membahas hal ini pasti terjebak dalam kutub pemahaman, entah dia akan menjadi qadariyah nantinya, jabbariyah nantinya, atau memilih pertengahan (ahlussunnah wal jamaah),
Nah si Abul Jauzaa ini masuk ke lingkaran keyakinan Jabbariyah. Jadi masalah di sini sederhana saja, karena si Abul Jauzaa ini sudah terjangkiti paham Jabbariyah maka tidaklah mengherankan bila ia mengecam Adi Hidayat dengan Qadariyah, sebab musuh Jabbariyah adalah Qadariyah.
Allah ta’ala berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid : 22]. Rasulullah ﷺ bersabda: كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653]. Bahagia dan celaka, neraka dan surga seseorang; maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah ta'ala; sama seperti ajal dan rizki. Bukankah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dari Nabi ﷺ telah disebutkan: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ، أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula (40 hari). Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula (40 hari). Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan RIZKINYA, AJALNYA, AMALANYA, dan CELAKA atau BAHAGIANYA. Maka demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan-Nya, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207 dan Muslim no. 2643]. Juga tentang kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam: احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَة، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا “Aadam dan Muusaa saling berhujjah (berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652]. Yaitu, ketetapan Allah ta'ala telah mendahului perbuatan Adam yang menyebabkannya keluar dari surga.
Apa yang dinukil oleh Abul Jauzaa ini tidak salah, karena ia mencopas kalam Allah, sabda Nabi dan ucapan ulama warasatul Anbiya, copasan ini tidak ada yang salah, namun yang salah adalah Abul Jauzaa, karena ia sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan Adi Hidayat. Bayangkan, Abul Jauzaa ini tidak paham, kemudian membantah ketidakpahamannya dengan bersandar kepada sesuatu yang benar lalu ia berharap bahwa ia menjadi benar karena berpegang kepada Al-Quran dan Hadis serta qaul ulama tersebut, ini tentu sangat jauh sekali.
Ingat, setan tidaklah bisa dikatakan malaikat pembawa wahyu hanya karena ia membacakan ayat suci Al-Quran (Ayat Kursi) di hadapan Abu Hurairah, sekali setan tetaplah setan. Begitupun orang yang dangkal pemahamannya macam Abul Jauzaa ini tidak akan jadi pintar hanya karena ia menukil pikiran/ucapan orang pintar, dan dia tidak akan bisa jadi benar hanya karena menukil Al-Quran, hadis dan ucapan ulama. Oleh karenanya harus dibedakan dengan tegas mana si Abul Jauzaa, mana Al Quran, Hadis dan Qaul Ulama.
Abul Jauza mempermasalahkan perkataan Adi Hidayat ini,
Di sini Adi Hidayat membahasakan/menyebut masyiah (kehendak) dengan takdir, apa ini salah? Kalau ini salah, kenapa pula si Abul Jauzaa menyebut bahwa salah satu rukun takdir adalah al-iraadah wal-masyii’ah,
"Pertama begini, antum pahami dulu apa itu taqdir. Taqdir itu pilihan hidup. Yang pilihan kita itu KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Jadi Anda bisa terbuka, ingin mengambil atau tidak. Itu pilihan Anda. Karena itu manusia diberikan kemampuan untuk memilih......dst. (kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menguatkan itu yang intinya manusia diberikan pilihan antara yang positif dan negatif)......”Sebenarnya. tidak ada yang salah dengan pernyataan ini, Allah berfirman dalam Al-Quran,
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُر
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (Al kahfi/18: 29)Di sini Adi Hidayat membahasakan/menyebut masyiah (kehendak) dengan takdir, apa ini salah? Kalau ini salah, kenapa pula si Abul Jauzaa menyebut bahwa salah satu rukun takdir adalah al-iraadah wal-masyii’ah,
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Mulai al-‘ilmu[4], al-kitaabah[5], al-iraadah wal-masyii’ah[6], dan al-khalq[7] yang uraiannya dapat dibaca dalam banyak referensi.Lagi-lagi orang ini gagal paham, ya khan? tinggal sisanya, al-‘ilmu, al-kitaabah, dan dan al-khalq, harus ia cari tahu dari Adi Hidayat, apakah ia mengimaninya juga atau tidak, makanya penting untuk bertabayun, tatap muka, sayang… lagi-lagi Firanda dan Abul Jauzaa ini tetap ngeyel menyalakan api fitnah untuk membakar ukhuwwah islamiyah akbatnya umat jadi pada ribut.
Mari kita ambil contoh, Abu Thalib, ia tidak masuk mau masuk islam apakah takdir atau bukan? Padahal ia diberi pilihan oleh Allah, mau kafir atau mau beriman, tapi ia memilih kafir, kemudian Allah tetapkan ia kafir. Apakah ini salah? apakah bahasa semacam ini (KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala) salah? Lagi-lagi pembaca, jangan mau kita tertipu dengan logika dangkal si Abul Jauzaa ini, simak hadis shahih berikut ini,
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَعْقُوبَ الْعَدْلُ، ثنا يَحْيَى بْنُ أَبِي طَالِبٍ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ، أَنْبَأَ دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " الْإِسْلَامُ ثَلَاثُونَ سَهْمًا وَمَا ابْتُلِيَ بِهَذَا الدِّينِ فَأَقَامَهُ إِلَّا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى )النجم: 37( فَكَتَبَ اللَّهُ لَهُ بَرَاءَةً مِنَ النَّارِ «هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Mengabarkan kepada kami Hasan bin Yaqub al adl, mengabarkan kepada kami Yahya bin Abu Thalib, mengabarkan kepada kami Abdul Wahab bin Abdul Majid, mengabarkan kepada kami Dawud bin Abu Hind, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata, Islam itu ada tiga puluh sahamnya (sumber kekayaan), maka tidak ada yang diuji dengan agama ini lalu bangkit kecuali Ibrahim, Allah berfirman, . dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (An Najm: 37) KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala (Allah menetapkan) baginya kemampuan kebal dari api (saat dibakar api). Hadis ini sanadnya shahih tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. (Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak, no 4027, bab dzikru Ibrahiman Nabi, II/602.)
Apakah Ibrahim ini kebal dari dari api sudah ada sebelum Ibrahim ada, atau munculnya kemudian, yakni saat ia diuji oleh Allah dengan tubuhnya dibakar api? Bila kita mengikuti matan hadis di atas maka jelas sekali bahwa ketetapan Allah itu datang belakangan. Namun bila kita mengikuti logika ngeyel maka Ibrahim ini kebal dari dari api sudah ada sebelum Ibrahim ada, kalau ia merasa logikanya ini benar maka sesungguhnya ia telah menistakan sahabat Ibnu Abbas, yang mengatakan perkataan yang kurang lebih sama dengan Adi Hidayat, KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala (Allah menetapkan) baginya. Kembali ke masalah, Abu Thalib juga, Apakah Abu Thalib sudah ditetapkan Allah terlebih dahulu menjadi kafir sebelum ia diberi pilihan?
Kalau mengikuti logika ngeyel Abul Jauzaa ini maka jelas-jelas si Abul Jauzaa ini terjatuh pada paham Jabbariyah akut, bahwa Allah memaksa Abu Thalib untuk kafir dan tidak memberinya pilihan sama sekali. Andainya kata si Abul Jauzaa ini ngeyel dan berusah cari-cari alasan agar ia dianggap Ahlussunah yang pertengahan, bahwa Abu Thalib sebenarnya diberi pilihan untuk beriman, namun pada akhirnya ia tetap memilih kafir karena itu adalah kehendak Allah,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir: 29)
Jadi kehendak Abu Thalib menjadi kafir adalah kehendak Allah juga. Maka itu tetap saja tidak akan dapat menyembunyikan fakta bahwa Abu Thalib dipaksa oleh Allah untuk menjadi kafir meskipun ia sangat menginginkan beriman. So, ini hanyalah bentuk permainan kata-kata saja, dalamnya Jabbariyah, luarnya pura-pura Ahlussunnah. Jadi sangat bodoh sekali, bila Firanda menjadikan orang semacam ini sebagai rujukannya untuk mengkritik Adi Hidayat. Bahkan efek negatif dari pemahaman dangkal Abul Jauzaa ini tidak berimplikasi pada terjemahan takdir ust Adi Hidayat yang ia anggap keliru tersebut, tapi pada fatalisme gila yang dapat menghancurkan akidah islam,
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فِي جَنَازَةٍ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ ثُمَّ قَرَأَ { فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ لِلْعُسْرَى } حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Sa’d bin Ubaidah dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali radliallahu ‘anhu ia berkata; Suatu kami berada dalam kelompok pelayatan jenazah bersama Nabi tepatnya di Baqi’ Al Gharqad, maka beliau pun bersabda: “TIDAK ADA SEORANG PUN DARI KALIAN KECUALI TEMPAT DUDUKNYA DARI SURGA ATAU DARI NERAKA TELAH DITULIS.” Namun sahabat protes, sebab kalau ditelan mentah-mentah pernyataan Rasulullah yang berat ini tentu semua orang akan berpaham Jabbariyah model si Abul Jauzaa ini… Tapi mereka cerdas, mereka mempertanyakan maksud Rasulullah. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita sebaiknya hanya bertawakkal saja?” beliau menjawab: “Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan.” Kemudian beliau bersabda: “FA`AMMAA MAN `A’THAA WAT TAQAA WA SHADDAQA BIL HUSNAA (Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta membenarkan kebaikan)..” hingga firman-Nya: “LIL’USRAA.” Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid Telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Sa’d bin Ubaidah dari Abu Abdurrahman dari Ali radliallahu ‘anhu ia berkata; Suatu ketika, kami duduk-duduk di sisi Nabi . Lalu ia pun menyebutkan hadits semisalnya. (HR. Bukhari, Ash Shohih, no: 4946)
Jawaban Rasul yang mengatakan, “Beramallah kalian, sebab setiap orang akan dimudahkan.” Menunjukkan bahwa ketetapan Allah bisa berubah di belakang hari, kalau tidak berubah maka semua sahabat akan pasrah pasrah saja, mana mau mereka beramal setelah dinyatakan bahwa mereka semua sudah ditentukan surga nerakanya. Makanya Rasulullah menyuruh beramal shalih, sebab dengan amal shalih setiap diri akan dimudahkan menuju surga.
Terdapat juga hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda dari Malik bin Anas dalam Al Muwatho, no: 3337 bab An Nahyu an qaul bil Qadar, V/1322
, مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ؛ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ الْجُهَنِيِّ ؛ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سُئِلَ عَنْ هذِهِ الْآيَةِ {وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنيءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّياتِهِمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوابَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُوا يَوْمَ القِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ} [الأعراف 7: 172].فَقَالَ عُمَرُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُسْأَلُ عَنْهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِصلى الله عليه وسلم: «إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى خَلَقَ آدَمَ. ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِينِهِ. فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً. فَقَالَ: خَلَقْتُ هؤُلاَءِ لِلْجَنَّةِ، وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُونَ.ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً. فَقَالَ: خَلَقْتُ هؤُلاَءِ لِلنَّارِ، وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُونَ». فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَفِيمَ الْعَمَلُ؟قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ اللهَ إِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ، اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. فَيُدْخِلُهُ بِهِ الْجَنَّةَ.وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ، اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ. حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ. فَيُدْخِلُهُ بِهِ النَّارَ».
Malik : dari Zain bin Abu Unaisah, dari Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zain bin Khathab, bahwa ia mengabarkan dari Muslim bin Yasar Al Juhani bahwa Umar bin Khathab ditanya tentang ayat ini: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Al A’raf: 172) Maka umar berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya hal yang sama maka beliau menjawab, Bahwa Allah yang Maha Mulia dan Maha luhur menciptakan Adam, kemudian mengusap punggungnya dengan tangan kanannya, lalu keluarlah darinya keturunan kemudian Allah berfirman: Aku ciptakan mereka ini untuk masuk surga, maka mereka akan mengamalkan amalan ahli surga, kemudian Allah mengusap punggungnya maka keluarlah darinya keturunan, kemudian Allah berfirman lagi: Aku ciptakan mereka ini untuk masuk neraka, maka mereka akan mengamalkan amalan ahli neraka. Seorang laki-laki bertanya: Wahai Rasulullah lalu untuk apa beramal kalau begitu? Maka Rasulullah menjawab, Sesungguhnya Allah itu kalau sudah menciptakan seorang hamba untuk masuk surga maka dia menjadikannya beramal dengan amalan ahli surga hingga ia meninggal di atas amalan dari sebagian amalan penghuni surga maka Allah memasukkannya ke dalam surga, dan tatkala dia menciptakan seorang hamba untuk masuk neraka maka ia menjadikannya beramal dengan amalan penghuni surga hingga ia meninggal di atas amalan sebagian amalan ahli neraka lalu memasukkannya ke dalam neraka.
Dalam hadis ini dengan tegas, Nabi katakan bahwa yang masuk surga hanyalah orang-orang yang beramal dengan amalan ahli surga dan yang masuk neraka hanyalah orang-orang yang beramal dengan amalan ahli neraka, namun ada hal yang menarik di sini, yaitu adanya peniadaan lafal alif-lam ketika Allah mengatakan ذُرِّيَّةً (turunan Adam) dengan dimasukkannya alif-lam oleh nabi dalam frase : الْعَبْدَ (hamba).
COMMENTS